Masa Depan Indonesia: Kapitalisme dan Kemanusiaan yang Hilang

 

Kapitalisme dan Kemanusiaan

Kata orang, hidup seorang swasta tidak terjamin seperti pegawai negeri, mungkin ada benarnya. Menjadi PNS, gajinya terjamin dan tidak mudah untuk dipecat. Mungkin karena mereka "pegawai negara" maka pemerintah sangat merawat mereka. Namun, apakah untuk mendapatkan keadilan semua orang harus menjadi PNS? Kenyataannya, dalam hidup, setiap orang memiliki tempatnya masing-masing. 

Tiga bulan yang lalu, DPR baru saja mengesahkan undang-undang yang mengatur perhitungan uang pesangon bagi karyawan PHK. Dilihat-lihat, dengan cara perhitungan yang telah ditetapkan, pesangon yang akan didapat tidak akan mencurangi karyawan terdampak PHK. Namun, apakah berarti tidak ada masalah? Sementara itu, bagaimana dengan orang-orang yang memang sengaja resign? Sayangnya menurut undang-undang, orang-orang yang sengaja resign ini hanya akan mendapatkan uang penggantian hak. Kenapa terdengar memprihatinkan? Karena aturan itu bisa dimultitafsirkan oleh perusahaan. Perusahaan sebagai subjek kapitalisme menjadi sosok yang berorientasi terhadap keuntungan sebesar-besarnya. Perusahaan berhak secara penuh untuk menetapkan uang penggantian hak terhadap karyawan resign. Perusahaan tidak akan repot-repot memikirkan kemanusiaan. Dengan demikian, keuntungan yang dimiliki perusahaan akan berimbas baik kepada petinggi di perusahaan. 

Perusahaan benar-benar menerapkan kapitalisme dengan memecat pekerja lama. Perusahaan memecat pekerja lama karena gaji mereka menyebabkan pengeluaran perusahaan lebih banyak. Dengan memecat pekerja lama, perusahaan bisa merekrut pekerja baru dengan gaji UMR. Efek kapitalisme memang tidak main-main karena bisa membuat rasa sungkan menghilang. Bahkan, rasa hormat dan rasa bersalah karena “berkhianat” juga musnah begitu saja. Pengeluaran pabrik yang menurun akan menyebabkan orang-orang yang memiliki "posisi" akan mendapatkan banyak keuntungan. Dengan tenang dan nikmat, orang-orang yang menjabat ini bisa menikmati makan malam bersama keluarganya masing-masing dengan tenang. Bahkan, membeli barang-barang branded merupakan hal mudah. Kemampuan ini mereka dapat dari menyingkirkan pekerja lama. Walaupun demikian, orang-orang yang di PHK ini akan mendapatkan uang pesangon sesuai dengan yang tertera dalam undang-undang. Akan tetapi, akankah uang pesangon bisa menghidupi mereka selamanya?

Sementara itu, pekerja yang mengundurkan diri seharusnya juga mendapatkan uang penggantian hak dari perusahaan. Namun, petinggi-petinggi perusahaan hanya akan mengeluarkan uang penggantian hak semaunya. Hal terpenting adalah tidak menyalahi peraturan pemerintah. Sekali lagi, karena kapitalisme, petinggi-petinggi ini tidak mau rugi. Masih banyak hal yang ingin dipenuhi dari "mencuri" hak orang lain.


Pemerintah sebagai Tameng Rakyat

Pemerintah sebagai "pemilik" negara tidak memiliki harga diri di depan perusahaan. Mereka yang seharusnya bertugas mengesahkan undang-undang yang berpihak kepada masyarakat, nyatanya tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Negara belum mampu memberikan yang diinginkan rakyat. Apakah orang yang menjabat di perusahaan adalah yang disebut sebagai rakyat sehingga perusahaan selalu menjadi pihak yang diuntungkan? 

Dalam hal ini, terkadang pemerintah bukannya tidak memiliki kuasa melawan kapitalisme, tetapi memang ada oknum dalam pemerintahan yang tidak berniat melawan kapitalisme. Hal ini karena adanya keinginan untuk membagi keuntungan bersama. Ini juga pengaruh dari budaya kapitalisme yang menjadikan setiap orang ingin mendapatkan bagian keuntungan sebesar-besarnya. 


Hilangnya Kemanusiaan

Apakah hilangnya kemanusiaan baru saja ada karena kapitalisme? Mungkin, hilangnya kemanusiaan dimulai dari adanya globalisasi dan perkembangan teknologi. Misalnya, dengan adanya perkembangan teknologi, orang-orang menjadi terbiasa mencari hiburan melalui media sosial, serial Netflix, dan lain sebagainya. Waktu bersosialisasi menjadi berkurang, bahkan tidak jarang orang-orang yang sudah lelah dengan aktivitas sehari-harinya menjadi malas untuk bersosialisasi. Hal tersebut lama-kelamaan akan “melahirkan” hati-hati individualis. Padahal, dengan banyak bersosialisasi, hati seseorang akan lebih sensitif dengan hal-hal yang membutuhkan tenggang rasa. Kebiasaan yang dianggap remeh tersebut mungkin bisa mencegah hati seseorang dari rasa individualis.


Masa Depan

Apakah keadilan bisa dicapai suatu saat? Bisakah setiap orang memiliki haknya? Bisakah setiap orang mendapat kebahagiaan yang sama? Bagaimana jika semua sama rata? Mungkinkah harus ada sosok pengatur keadilan? Apakah pemerintah bisa mengaturnya? Setidaknya, supaya semua orang dapat makan malam bersama keluarganya di restoran dengan tenang. Namun, sepertinya angan-angan tersebut tidak akan menjadi nyata sampai akhir zaman. Hal ini karena nyatanya di negara-negara yang memiliki sosok pengatur keadilan, seperti Tiongkok, Korea Utara, Laos, dan Vietnam, persamaan status tetap tidak bisa dicapai, bahkan kemiskinan juga masih bisa ditemukan. 


Komentar